News Update :
Faisal Abdullah Al Makki. Diberdayakan oleh Blogger.

TheLAN Actions

FIFA KLASEMEN

Bersatulah, Bersatulah, Bersatulah!

Rabu, 28 Desember 2011

Hingga kapan para pembina sepak bola Indonesia menyulut dendam? Hingga kapan adu argumen kosong terus didengungkan? Hingga kapan sikap pembenaran diri sendiri dipertahankan? Apakah sikap arogan seperti ini dibiarkan hingga membunuh sepak bola negeri ini?
Telah tiba waktunya untuk mengatakan: stop sampai di sini! Betul, yang bertikai adalah mereka yang mengatasnamakan pembina, tapi sesungguhnya sepak bola itu milik seluruh masyarakat. Perselisihan di tingkat elite tidak boleh mengorbankan kepentingan umum.
Apa pun alasannya, Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin dan seluruh jajarannya adalah sah. Mereka dipilih melalui kongres yang berlangsung secara terbuka di Solo, Juli lalu. Djohar dan kawan-kawan sudah melaporkan dan diterima secara baik oleh FIFA dan AFC, dua lembaga tertinggi sepak bola dunia dan Asia. PSSI era baru yang menumbangkan rezim Nurdin Halid cs. yang dianggap buruk itu telah mulai bekerja dengan gigih.
Awalnya berjalan penuh optimistis. Lihatlah bagaimana tim nasional senior kita dapat melewati hadangan Turkmenistan dan lolos ke penyisihan grup kualifkasi Piala Dunia 2014. Namun, ketika harapan dilambungkan, Indonesia malah menjadi bulan-bulanan Iran, Qatar, dan Bahrain, dan belum satu poin pun diraih.
Tidak apa-apa sebab kita masih memiliki timnas U-23 di bawah pelatih Rahmad Darmawan (RD). Garuda Muda ini tampil memikat saat turun di SEA Games. Titus Bonai cs. melaju hingga final. Sayang, Malaysia keluar sebagai kampiun melalui adu tendangan penalti.
Rupanya kehidupan harmonis keluarga baru PSSI itu hanya tampak luar. Di dalam rumah tangga telah terjadi gontok-gontokan hebat yang menimbulkan sikap saling curiga. Hanya dalam waktu seumur jagung, para pengurus PSSI terbelah dua.
Ibarat berlayar dalam satu perahu, para pengurus mendayung dengan gigih tapi ke arah yang berlawanan. Berkutat di tempat, tidak membawa dampak baik dan bahkan konflik internal menjadi konsumsi publik.
Pengurus inti PSSI, dalam hal ini 11 anggota Komite Eksekutif (komek) yang terpilih oleh kongres, bertikai. Satu di kubu Djohar dan satu lagi dimotori La Nyalla Mattalitti seolah menjadi matahari dan bulan yang terpisah jauh dan tak mungkin bersatu.
Sedemikian parahkah konflik internal itu? Faktanya demikian dan malah berkembang menjadi pertarungan adu kekuatan dan pengaruh kepada ratusan anggota. Perselisihan semakin kental dan saling mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar dan legal di mata hukum.
Konflik di pucuk pimpinan diperparah lagi dengan bergulirnya Liga Super Indonesia (LSI). Kompetisi ini dinilai ilegal karena PSSI sudah memiliki Liga Primer Indonesia (LPI). Mayoritas pemilik klub memilih LSI karena dinilai masih sah sebagai produk Kongres Bali yang belum dicabut.
***
Djohar yang diragukan ketegasan mengambil keputusan akhirnya unjuk gigi. Seluruh produk LSI secara pukul rata dianggap melanggar aturan PSSI. Artinya, harus dikenakan hukuman. Hak pemain LSI dicabut dari kesempatan membela timnas Indonesia.
Pemilik klub, pemain, pelatih, dan para suporter berang. Keputusan PSSI dinilai tidak tepat dan terkesan arogan. Karena itu mereka berkumpul dan melakukan rapat-ria untuk menelorkan sikap: lakukan penggantian pengurus PSSI.
Semakin parah. Prestasi sepak bola kita belum menunjukkan tanda-tanda positif, tapi malah asyik berkelahi tidak karuan. Ini menunjukkan bahwa kita memang belum dewasa menerima perbedaan, mirip di lapangan yang mudah tersulut emosi.
Mengherankan juga ya, bagaimana para pengurus sepak bola dari berbagai daerah tiba-tiba berkumpul di hotel bintang lima di Jakarta. Tidak kepalang tanggung karena para 'pemberontak' di luar PSSI ini menyebut dukungan dari 452 anggota. Siapa ya yang menyediakan biaya besar itu?
Urun rembuk ini dinamai Rapat Akbar Sepak Bola Nasional. Dalam pertemuan itu tercetus tuntutan Kongres Luar Biasa (KLB). Hasil rapat ini segera disampaikan kepada Djohar di kantor PSSI, tapi tidak berhasil karena sang ketua sedang berada di Jepang.
Pada saat bersamaan, PSSI yang sah melakukan silaturahmi dengan pengurus pengprov dan klub di Semarang. Walau terkesan sepi peserta, setidaknya tetap melakukan tindakan temu anggota.
Konflik sudah terbuka. Tidak ada lagi retorika yang dapat menjelaskan posisi masing-masing. Agar jangan sampai menghancurkan semua tembok, segeralah rela membuka diri. Djohar cs. tidak boleh lagi tutup mata melihat kenyataan. Begitu juga La Nyalla cs. harus menahan diri dan bersedia berdebat secara cerdas.
Dalam tulisan terdahulu saya berharap campur tangan Jusuf Kalla dan Andi Mallarangeng. Minggu ini saya mengajukan mantan gubernur DKI, Sutiyoso, dan mantan Menpora Adhyaksa Dault untuk turun tangan mengurai benang kusut ini.
Secara legal formal, Djohar adalah sah memimpin PSSI. Hanya, apa suara anggota tidak lagi didengar? Ketika anggota ingin curhat dan berdiskusi mencari jalan keluar, kenapa ditampik? Jika merasa benar, tidak perlu khawatir didepak.
Berempat atau salah satu dari JK, Andi, Bang Yos, Adhyaksa harus rela menyediakan waktu menjadi penengah. Sepak bola dalam keadaan gawat dan butuh diselamatkan. Harus ada tokoh kuat untuk menyalakan pipa perdamaian.
Merebut kekuasaan melalui revolusi akan melahirkan revolusi baru. Karena itu, setiap orang dituntut mau mengalah untuk mencapai mufakat. Tidak ada orang sempurna di muka bumi ini, yang ada hanyalah berusaha sempurna.
Siapa yang mau berusaha sempurna? Guna menciptakah suasana kondusif, maka bersatulah. Beri ruang kepada orang bijak agar merapatkan persamaan dan mempersempit ruang perbedaan.
Sekali lagi, jangan biarkan sepak bola Indonesia hancur lebur. Jadi, bersatulah!
ian@bolanews.com
(Dikutip dari Rubrik Catatan Ringan Tabloid BOLA No. 2.289 terbit 22 Desember 2011)

Mengenai Saya

Foto saya
Sigli, Aceh, Indonesia
 

© Copyright THE LAN 2007 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.